Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat hari jadi kepada kampus saya yang dirayakan dengan acara Dies Natalis. Sudah 3 tahun saya merayakan semarak dies natalis di kampus ini. Pembukaan yang meriah, atraksi yang menakjubkan, nyanyian hymne, gelak tawa, seruan semangat, semuanya mewarnai dies natalis setiap tahunnya.
Tepatnya hari Jumat kemarin. Saya dan teman-teman berangkat sama-sama ke GOR untuk merayakan pembukaan dies natalis. Jumat yang indah menurut saya. Meski harus jalan kaki dari jurusan saya yang nun jauh di sana, tapi saya sangat menikmatinya. Well, awalnya. Saya masih ingat, kami sempat mengeluh karena panas, pegal-pegal karena harus jalan kaki, tidak adanya snack, hingga telatnya kedatangan nasi kotak. Siapa juga ya yang merasa enak duduk panas-panasan di tengah lapangan yang luasnya bener-bener dah tanpa bekal makanan? Saling menyalahkan panitia, hingga sempat pelit berbagi air minum. Padahal beberapa menit kemudian bergalon-galon air mineral datang menyelamatkan kami para insan yang kehausan.
Beruntungnya saya memiliki banyak teman yang pandai menyimpan keluhan. Meski panas Jumat kemarin boleh dibilang nauzubillah, kami masih sempat bergaya-gaya selfie, berlarian dengan lincah di lapangan, menonton suguhan yang disiapkan panitia dies natalis, bahkan sampai mengincar pasukan drum band AL yang tampil. Gelak tawa dan guyonan mewarnai acara itu.
Kami kembali ke jurusan dengan perut kenyang, memori ponsel penuh foto, dan banyolan. Saya sempat menolak mengambil jatah makanan. Namun pada akhirnya karena perut ini sudah terlalu lapar dan sudah malas keluar dari kos, saya meminta teman saya mengantarkannya. Lihat kan? Betapa tidak tahu dirinya saya. Sudah sempat menolak tapi pada akhirnya meminta-minta juga.
Kemudian saya sadar ternyata saya lebih tidak tahu diri pada malam harinya. Salah satu teman saya mengajak saya dan teman-teman lain satu departemen untuk bermain-main dengan anak jalanan. Karena kami mahasiswa, satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah mengajar.
Kami berencana jauh-jauh hari untuk menyiapkan peragaan tentang cita-cita kepada anak-anak yang berada di sana. Karena saya suka menggambar saya pilih cita-cita menjadi pelukis. Iya, pelukis, cita-cita yang sekarang hanya bisa saya senyumi karena kegagalan saya berkompromi dengan ego masuk-jurusan-apa pasca SMA. Kami berangkat dari kampus, dengan pakaian yang seperti siap malam-mingguan, padahal itu malam Sabtu.
Tahukah Anda dimana mereka tinggal? Kuburan. Jangan tertawa, bergidik ngerilah. Karena saya serius, it's literally a cemetery. Kami parkir sepeda motor di kuburan, berjalan kaki menuju Taman Baca Masyarakat melewati kuburan, dan terdapat kuburan di pinggiran rumah warga. Kami harus benar-benar menajamkan mata malam itu agar tidak salah melangkah.
Mereka anak-anak kecil yang super aktif dan antusias menerima kami. Kami yang mahasiswa tahunya hura-hura dihadapkan kepada anak kecil dengan pakaian lusuh dan mata lugu. Kami mulai melakukan apa yang harus kami lakukan. Memberi gambaran pada anak-anak kecil ini bahwa mereka dapat menjadi apa pun yang mereka mau. Mulai dari arsitek, programmer, cheff, animator, hingga pelukis. Semua jalan terbuka lebar. Tidak ada yang dapat menghalangi mereka.
Seperti yang sudah saya duga, saya bahagia. Jenis bahagia yang berbeda daripada merayakan dies natalis siang tadi. Bahagia yang satu ini lebih hangat dan tahan lama. Uniknya, perasaan itu saya dapatkan di sini, di kuburan, bersama adik-adik kecil yang menggemaskan. Jika dibanding dengan luasnya stadion tadi siang ya sudah pasti kalah, namun bermain dengan anak-anak lucu ini memberikan makna bahagia lebih luas lagi.
Beranjak dari kuburan itu, kami bergerak menuju pinggir jalan tempat anak-anak penjual koran berkumpul. Cerita yang saya dengar, anak-anak ini biasanya berkumpul untuk belajar bersama. Namun mungkin karena sudah terlalu malam, saat kami datang jumlah mereka sedikit. Bahkan ada yang berlarian di lampu merah dengan tumpukan koran di bahu. Kurang bersyukur memang saya ini. Malam-malam seperti ini biasanya saya malas-malasan di depan laptop, di sudut kota yang lain seorang bocah masih harus berpeluh demi sesuap nasi.
Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke salah satu mall di tengah kota. Tidak salah ketik, mall. Dengan kondisi perut yang lapar saya menduga bahwa kami akan makan malam di sana. Yak, meleset. Tidak sampai masuk gedung, kami mengitari pinggirannya untuk bertemu anak-anak penjaja mainan dan buku mewarnai. Mereka ngemper di area menuju pintu masuk. Saya baru tahu ada anak jalanan di sini. Tidak, saya baru sadar. Sudah sering saya hedon di tempat ini. Bahkan pernah bersama orangtua saya. Tapi ini baru pertama kalinya saya merendahkan viewpoint saya dan menyadari keberadaan mereka. Dengan usia yang masih sangat kecil mereka sudah bekerja menjajakan dagangan di pinggir mall. Mirisnya saat itu kami berhenti di luar K*C. Iya, tempat makan yang sering kami para mahasiswa kunjungi. Dengan batas kaca, kami para hedonis, bisa melihat dua dunia yang berbeda. Mereka yang di dalam sana tertawa-tawa heboh dengan menyantap ayam yang lezat adik-adik kecil di sini dengan wajah kotor dan baju lusuh harus bekerja keras. Tamparan bagi saya lagi, ketika mendengar ternyata mereka tidak hanya berdiam di satu mall. Mereka menyebar ke mall-mall yang ada di kota besar ini, mencari uang demi bertahan hidup. Sementara satu-satunya alasan saya ke mall adalah menghabiskan uang.
Malam Sabtu itu jadi malam tak terlupakan bagi kami. Malam dimana kami sangat bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan pada kami. Malam yang akan menambah alasan kami untuk menyimpan sendiri keluhan-keluhan tidak penting itu.
Komentar
Posting Komentar